Jumat, 11 Januari 2008

21:12

oleh: hamzah

Sehabis salam sebagai tanda penutup sholat, sebagai imam, pak qodri membalikkan badannya. Berhadapan dengan para jama’ah. Tapi sebagai imam, Pak Qodri merasa ada yang berbeda pada sholat berjama’ah beberapa hari terakhir ini. Shaf-nya semakin ke depan. Ini berarti orang-orang yang datang semakin sedikit. Dalam hatinya lantas timbul pertanyaan-pertanyaan. Apakah penyebabnya. Pak Qodri memendam berbagai pertanyaan itu barang sebentar. Ia mencoba berkonsentrasi pada dzikir dan do’a-nya terlebih dahulu.

Setelah menyelesaikan ritualnya, Pak Qodri segera beranjak menuju Pak Rustaman yang sedang berjalan keluar.

“Pak Rustaman, boleh saya bicara sebentar?”

“Ya, ustadz.” Begitu Pak Qodri biasa dipanggil.

“Begini pak, apa Pak Rustaman merasa ada yang berubah pada sholat berjamaah di masjid ini.”

“Maksud ustadz?”

“Mengenai jumlahnya.”

“Ya ustadz, sebenarnya saya merasa jamaah yang sholat di sini semakin berkurang. Terus kira-kira penyebabnya apa ya tadz?”

“Nah itu yang sebenarnya ingin saya tanyakan ke Pak Rustaman. Jadi bapak benar-benar tidak tahu?”

Pak Rustaman menggelengkan kepalanya. Lalu Pak Qodri memerintahkan pada Pak Rustaman untuk membuat undangan rapat darurat ta’mir masjid. Biasanya rapat diadakan dua bulan sekali. Tapi karena kondisi ini dirasakan cukup gawat, maka selaku ketua ta’mir, Pak Qodri tak mau ambil resiko. Ia harus bergerak cepat. Pak Rustaman pun yang berkedudukan sebagai sekretaris patuh pada perintah Pak Qodri. Karena sebagai ta’mir sama-sama bertanggungjawab atas kemakmuran masjid.

Rapat darurat yang diadakan malam itu dihadiri semaua ta’mir, tak terkecuali. Para anggota ta’mir banyak yang kaget, ada apakah gerangan sehingga diadakan rapat secara mendadak. Tapi akhirnya setelah dijelaskan mereka semua paham.

Dalam rapat itu dibahas mengenai hal apakah yang menyebabkan kejadian ini. Tapi ternyata semuanya tidak ada yang mengetahui. Maka dari itu selaku ketua, Pak Qodri memutuskan untuk diadakan penyelidikan.. semua ta’mir harus ikut berpartisipasi dalam proses di dalamnya. Maka daerah operasi pun dibagi empat bagian. Sebagian menyelidiki di daerah utara desa, sebagian di daerah timur, dan dua lainnya di bagian selatan dan barat.

Semua anggota ta’mir melaksanakan penyelidikan ini dengan sungguh-sungguh. Ketika waktu adzan hampir tiba, mereka mengamati rumah-rumah penduduk desa itu, terutama yang biasa sholat di masjid.

Ketika suara adzan hampir dikumandangkan, penduduk desa itu seperti biasa membersihkan diri mereka, berwudlu, dan berpakaian rapi serta memakai peci. Itu berarti mereka tetap melaksanakan sholat. Tetapi, kenapa mereka sholat di rumah?

Rupannya dugaan para ta’mir itu salah. Orang-orang itu tidak sholat di rumah. Hal itu mereka ketahui ketika mereka berpapasan dengan banyak orang yang berpakaian rapi yang menuju ke arah timur. Dan seketika itu juga mereka mengikuti orang-orang itu. Ternyata mereka sholat di masjid kampung sebelah.

Rapat kedua dilaksanakan. Ketika Pak Qodri bertanya mengenai hasil dari penyelidikan, hampir semuanya menjawab dengan hal yang sama. Bahwa jamaah masjid ini telah berpindah ke masjid kampung sebelah. Dan salah satu anggota ta’mir menambahkan bahwa sebenarnya tak ada yang istimewa di masjid itu. Tetapi mungkin saja yang membuat warga tertarik adalah, diberikannya nasi bungkus ketika pulang. Semuannya diberi, anak-anak, pemuda, sampai orang-orang tua. Dan pada bungkus nasi itu tertulis nama H. Mansyur.

“Haji Mansyur yang punya selepan?” Tanya Pak Qodri.

“Mungkin begitu, Ustadz. Soalnya di desa itu yang punya nama Haji Mansyur cuma satu.”

“Baiklah bapak-bapak, kita di sini adalah ta’mir masjid. Dan kita semua bertanggung jawab atas kemakmuran masjid ini. Kita melihat sendiri akhir-akhir ini, bagaimana jamaah sholat masjid ini. Tentu saja hal ini tidak boleh kita biarkan begitu saja. Kita harus berfikir bagaimana caranya agar orng-orang itu mau sholat di masjid ini lagi. Agar ramai seperti dulu lagi. Dan tentu saja agar kotak infak terisi penuh lagi. Soalnya bila kas keuangan masjid kosong, apalagi bila sampai defisit maka pembenahan masjid akan semakin tertunda.”

Para pengurus lainnya diam mendengarkan uraian Pak Qodri.

“Oleh karena itu saya selaku ketua ta’mir mengusulkan, bagaimana kalu kita juga memberiakn nasi bungkus pada setiap jamaah yang datang. Tapi untuk lauk-pauknya harus lebih mahal dari masjid sebelah.”

“Apakah itu bukan yang namanya iri Ustadz?” tanya Pak Rustaman.

“Tentu saja bukan. Kita kan berlomba dalam kebaikan. Tujuan kita yang utama adalah agar orang-orang itu mau datang kembali ke masjid ini lagi. Selain itu memberi makanan pada orang lain kan juga perbuatan baik.”

Pak Rustaman tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Ia diam, walau sebenarnya buakn berarti setuju. Ia terdiam karena tak kuasa menolak usulan Pak Qodri. Pasalnya keluarga Pak Rustaman pernah berhutang budi pada Pak Qodri. Ia pernah diberi sejumlah uang untuk biaya anaknya di rumah sakit.

“Selain itu agar masjid kita ini lebih ramai, maka akan saya adakan undian.”

“Undian. Maksud Pak Ustadz?”

“Bahwa bagi siapa saja yang datang sholat berjamaah boleh mengambil nomor undian. Dan akan diundi sebulan sekali.”

“Terus uangnya dari mana Ustadz?” “Kalau masalah itu tak usah dipikirkan, nanti dari saya.”

Usulan Pak Qodri disepakati. Maka setelah rapat itu para pengurus menjadi lebih sibuk. Mereka menyiapkan nasi bungkus dan membagikannya. Setiap hari sayur dan lauknya diganti. Agar bervariasi dan tidak membuat bosan para jama’ah. Malah, kadang selera mereka bias disesuaikan. Bagi yang suka pedas bisa nambah sambal. Atau yang suka manis bisa ambil kecap. Selain itu setelah mendapat jatah nasi bungkus, mereka dipersilakan mengambil nomor undian.

Satu bulan sudah program ini berlangsung. Satu bulan, juga berarti telah tiba hari untuk penarikan undian. Sehabis sholat ‘isya orang-orang menunggu Pak Ustadz yang mengambil nomor undian. Setelah menyelesaikan ritual do’a dan dzikirnya yang kelihatan khusuk, Ustadz keluar dan segera mengundi. Nomor-nomor yang keluar segera dicocokkan dengan nomor-nomor yang ada di tangan para jamaah. Dan seketika itu juga yang merasa ada yang cocok melompat kegirangan dan menunjukkan pada Pak Ustadz. Dan mereka mendapat bingkisan. Isinya pun bervariasi, ada baju, peci, sandal, sajadah, dan sarung.

Setelah pengambilan undian semuanya pulang, tentunya setelah mendapat jatah nasi bungkus dan nomor undian untuk bulan depan. Orang-orang pulang dengan wajah girang.

Tapi kegirangan itu tak tampak pada wajah Pak Qodri. Ia kelihatan kecewa. Bukan karena besarnya uang yang ia keluarkan, tapi karena jumlah orang yang datang masih sangat sedikit. Mungkin hanya bertambah lima atau enam orang.

Rapat darurat diadakan lagi untuk yang ketiga kalinya. Dalam rapat ini Pak Qodri mengusulkan bahwa dirinya akan turun tangan untuk menyelidiki hal ini. Ia mengatakan bahwa dalam beberapa hari ia akan sholat di masjid kampung sebelah. Dengan begitu ia akan tahu mengapa orang-orang memilih sholat disana. Dan untuk sementara ia menunjuk Pak Rustaman sebagai Imam.

Pak Qodri sudah mulai sholat di masjid sebelah. Biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa selain nasi bungkus itu. Bangunan masjid yang sederhana, tidak ada kipas, alasnya pun hanya tikar, suara mic nya pun seperti orang sakit tenggorokan. Bila siang udaranya terasa sangat panas sehingga tak jarang peluh pun banyak yang keluar, bila malam udara begitu dingin. Tapi kenapa banyak orang yang sholat di sini. Jawaban itu belum ketemu.

Empat hari sudah Pak Qodri sholat di masjid itu, jawaban belum juga ketemu. Tapi satu hal yang membuat Pak Qodri senang adalah orang-orang yang sholat di masjid ini mulai berkurang. Jika pada awal dulu lebih dari tujuh Shaf, dan sekarang tidak lebih dari empat shaf. Pak Qodri berfikir, mereka pasti telah pindah ke masjidnya, karena masjid ini tidak nyaman.

Setelah setengah bulan, Pak Qodri memutuskan untuk kembali sholat di masjidnya. Ia cukup puas dengan berkurangnya jumlah orang yang sholat di masjid sebelah.

Dugaan Pak Qodri benar, bahwa orang-orang itu berpindah ke masjidnya. Sekarang masjid ini penuh kembali. Lebih dari tujuh shaf, seperti dulu lagi. Dan mulai saat ini ia menggantikan Pak Rustaman.

Tapi aneh. Setelah beberapa hari Pak Qodri menjadi imam kembali, para jama’ah yang datang berangsur-angsur berkurang. Semakin lama shaf semakin ke depan. Dan tentusaja hal ini membuat Pak Qodri bingung. Tapi yang menambah kebingungannya adalah ketidak datangan para ta’mir. Kelihatannya para ta’mir masjid lebih memilih sholat di masjid sebelah, kecuali Pak Rustaman.

Myself,

Klaten, 11 Pebruari 2007